Rabu, 17 Oktober 2012

SURAT CINTA ABADI

Pelan dan semakin pelan angin berhembus. Berhenti, kala mentari merasa malu, saat sang purnama datang dengan membawa berjuta cahaya dari sang bintang. Seluruhnya berkelip tanpa kejora. Perasaan senang belum hilang, dari bayang dan ayang, dari angan, dari bayangan faqirul habib. Pria yang selalu merasa percaya diri itu sedang bingung karena sesuatu, yang telah terjadi, kemarin pagi. “Jika kamu ingin ta’aruf padaku, dan menjadi orang yang kucintai setelah Tuhan dan Nabiku, maka buatkanlah surat cinta yang tak akan pernah berubah sampai kapanpun, dan kamu akan membacakannya ketika prosesi ta’aruf yang lebih dalam lagi pada ku. ” Itulah sejumlah kata yang terucap dari bibir seorang wanita yang akan menjadi teman Faqirul habib saat berikrar janji suci yang disaksikan ayat–ayat suci dan lafadz اشهد ان لا اله الاالله واشهد ان محمد الرسول الله besok Idul Adha. Hari ini pun, dia masih bingung dengan kata- kata ”Puisi yang takkan pernah berubah sampai kapan pun.” Memang benar kalau Faqirul habib itu ahli puisi dan karyanyapun sudah setumpuk buku, setebal buku Ensiklopedi Islam, akan tetapi tak akan pernah berubah sampai kapanpun itu mustahil! Mana mungkin tidak berubah, setiap era dan masa pasti akan bergulir antara satu judul puisi dan yang lain, sehingga pendengarpun tidak bosan dangan bentuk puisi yang monoton. Sedari begitu, Faqirul habib tidak lekas putus asa, dan menyerah dari usahanya untuk mendapatkan cintanya dari Khurun ‘In, wanita yang membuatnya harus berfikir cerdas dan bekerja keras. Lama ia termenung setelah membuat beberapa puisi, diantaranya adalah Di Ufuk Bintang, Matahari Berjalan, Maha Dewiku, dan Lebih Dari Kleopatra. Di dalam kamar, ia masih sibuk membuat kata perkata, baris perbaris dan puisi perpuisi, akan tetapi diantara kesemuanya itu pasti akan berubah dan lenyap. Ia masih berusaha membuat lembaran-lembaran puisi di dalam kamar. Tak henti-henti tangannya mengukir kertas dengan pena. Sampai akhirnya ia pun terlelap di atas meja kesayangannya. Di malam yang sunyi itu ia bermimpi bertemu dengan Khurun ‘In. ” Dik Khurun, kenapa kamu memberikan ku persoalan yang aku tidak mampu?” Tanya Faqirul habib saat di dalam Masjid. ”Aku tidak akan membuatmu begitu karena aku yakin kamu pasti mampu. Dan kamu pasti bisa mas habib ” Kata-kata lembutnya pada Faqirul habib. Dan seketika itu juga, Khurun ‘In menghilang beserta wajah cerianya. Faqirul habib pun bingung. Sekarang ia sendirian di dalam masjid. Ia masih berusaha menjernihkan pikirannya. Dan tak lama kemudian ia bertemu dengan sesosok wanita yang tak dikenalinya. Wanita tersebut hanya berucap bahwa jawaban yang dicari Faqirul habib ada di lembaran-lembaran yang biasa dibacanya. Seketika itu Faqirul habib tersadar dari tidurnya. Dan ia pun bangun menuju tempat lembaran itu. Sebelumnya, ia basuh mukanya dengan air wudlu. Kemudian melakukan sholat malam. Selesai itu, kemudian mengambil sesuatu dari lemarinya. Ia ambil sesuatu yang sering dibacanya. Ia membaca ayat-ayat pada mushaf. Dan sekarang ia paham, inilah puisi yang tak akan berubah sampai kapan pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar