Minggu, 18 April 2010

CITA CITA JADI TERORIS(revisi)

Karya Burhanuddin



Satu hari lagi aku akan bertemu dengan sahabat lamaku yaitu kang Mamat. Sudah 10 tahun kami tidak bertemu semenjak ia bekerja di Korea.

Aku ingat sewaktu masa kecil dulu. Saat kami kelas 3 SD aku dan kang Mamat pergi ke rumah pamanku. Dia tinggal di Desa Parikan.

Dari Desa Pantunan kami berangkat pukul 07.00 pagi. Jarak desa kami dengan desa pamanku cukup jauh sekitar 10 km.Karena jaraknya yang jauh,kami ke sana naik sepeda ontaku.

Saat di tengah jalan tiba-tiba sepeda kami terasa tidak nyaman, tidak seperti biasanya. Kami berdua turun untuk memeriksa keadaan sepeda.

“Ada apa, Dik? Kok berhenti,” tanya kang Mamat
“Kelihatannya bannya bocor, Kang,” jelasku pada anak yang bertubuh besar itu. Aku turun untuk memeriksa keadaan.
“Benar Kang,bannya bocor.”
“Bannya bocor?Terus gimana nih,malah di daerah sepi nih,” ocehnya sambil memukulkan kayu ke tanah yang dibawanya dari rumah.

Karena ban sepeda bocor, terpaksa kami harus mendorong sepeda sampai ke rumah Paman. Lama mendorong sepeda tubuh kami terasa lelah. Ditambah dengan panasnya terik mentari yang menyengat kulit kami.

“Dik, gimana kalau sepedanya kita tinggal di sini.”
‘Tapi kalau hilang nanti gimana? Aku bisa di marahin sama bapak.”
“Nggak,nggak. Kita taruh di tempat yang aman. Ha… dis ana!”
“Tapi aku takut. Gimana kalau sepedanya benar-benar hilang.”
“Jangan khawatir,sepedanya nggak akan hilang, kok. Lagian siapa yang mau ngambil sepeda zaman prasejarah,paling-paling orang waras.”

Setelah mendengar perkataan kang Mamat yang meyakinkan itu,aku putuskan untuk menaruh sepeda di semak-semak. Kami melanjutkan perjalanan ke rumah pamanku.

Selang beberapa waktu,kami pun sampai di depan rumah yang agak sempit tapi bersih.
Tubuh kami sangat kelelahan. Wajah kami terlihat merah terbakar.

“Assalamualaikum?”
“Waalaikumsalam,” jawab suara perempuan yang mempunyai rambut panjang dan wajah selalu ceria itu.
“Dik Sofi,Paman ada di rumah, nggak?” tanyaku pada anak perempuan yang lebih dewasa 5 tahun dari kami.
“Ada. Sedang membuat mainan di belakang.”
“Membuat mainan apa?” tanya kang Mamat.
“Lihat aja sendiri.”
“Ada siapa Fi?” tanya bi Retno dari dalam rumah.
“Nih, mas Mamat dan mas Puji.”
“Ayo lewat sana,kalau mau ketemu ayah.”

Kami pergi ke belakang lewat samping rumah. Dengan Dik Sofi kami diantar bertemu Paman Seno.

“Apa kabar Paman?” sapaku dan kang Mamat serta bersalaman pada paman Seno.
“Kabar baik. Lama tak jumpa. Bagaimana keadaan keluarga? Baik-baik kan?”
“Alhamdulillah baik-baik. Oh ya Paman, kata Dik Sofi paman sedang membuat mainan, mainan apa?” tanyaku penasaran.
Dengan mengotak-atik kayu yang sudah terpotong itu paman menjawab.
”Oh ini ya, paman sedang membuat angklung.”
”Membuat Angklung. Kami boleh bantu nggak, Paman?” tanyaku pada Paman Seno.
“Boleh,” jawab Paman Seno.

Kami berdua ikut membantu membuat Angklung. Tidak ingin kalah dengan kami,Dik Sofi pun ikut berpartisipasi dalam membuat Angklung.

“Kalian mau dengar cerita Paman nggak?”
“Cerita apa Paman?”
“Dulu, sewaktu masih kecil,paman bercita-cita ingin jadi teroris.”
“Apa Pak? Kenapa Bapak nggak pernah cerita sama Sofi?”
“Kemarin-kemarin Bapak nggak ingat. Begini. Dulu waktu zaman penjajah Belanda menguasai daerah kita Paman lari ke Gunung Kidul bersama penduduk desa. Para penjajah Belanda menguasai dan membunuh penduduk yang mereka jumpai.”
”Bagaiman ceritanya Paman Seno bisa bercita-cita jadi teroris?” serobot kang Mamat penasaran.
”Baiklah, kita merujuk pada titik poinnya saja.”

Kami bertiga penasaran dengan paman seno. Wajah ingin tahu terlihat di muka kami bertiga. Hati kami makin penasaran dengan cerita paman Seno.

“Saat di Gunung Kidul Paman Seno pernah dinasihati Ayah paman.
Begini katanya,”Seno, kamu harus menyelamatkan penduduk desa kita ini. Jadilah teroris bagi penjajah.”
”Jadi teroris, Ayah?” jawabku begitu.
Saat paman penasaran dengan nasihat Ayah paman,tiba-tiba sebuah tembakan mengarah ke tubuh ayah paman.”
“Terus gimana Ayah paman?” tanya Kang Mamat.
“Ayah paman tergeletak. Ia menyuruh paman lari sejauh mungkin,agar tidak dikejar tentara Belanda. Paman menangis sambil berlari. Dengan perasaan yang kurang begitu menentu, campur marah dan rasa takut paman berteriak Sekeras-kerasnya.”
“Setelah itu paman?” tanyaku.
“Setelah itu, aku pergi ke tempat yang aman bersama penduduk yang masih hidup. Kami masuk di sebuah goa yang namanya Goa Mereng. Di sana Paman beserta penduduk desa berlatih pencak silat. Dengan kayu pring dan beberapa kayu mahoni, kami membuat senjata. Tongkat dan panah serta jebakan lainnya kami buat untuk melawan penjajah.”
“Terus-terus Paman.”
“Setelah beberapa hari kami mempersiapkan diri dan senjatai, kami diam-diam pulang ke desa untuk memantau keadaan. Dan ternyata, di desa ada sekitar tiga puluh pasukan Belanda yang sedang istirahat. Dengan penuh kecerdikan, kami akhirnya menyerbu pasukan tersebut.”
“Akhirnya paman menang?” tanya kang Mamat.
“Selang beberapa menit, akhirnya mereka terkalahkan. Kami mengambil senjata dan mengusir tentara Belanda dari desa kami. Paman merasa mungkin inilah yang dimaksud cita-cita jadi teroris oleh ayah paman.”


Mendengar cerita paman,aku merasa tersentuh. Hatiku ikut larut dalam ceritanya. Karena sudah siang kami segera pulang. Kami berjalan dari rumah Paman menuju tempat kami menaruh sepeda.

“Hai Kang,sepedanya di mana?” tanyaku pada kang Mamat saat sampai di semak-semak tempat menaruh sepeda.
“Iya, ya, tadi di sini kan?”
“Iya. Aduh gimana, nih?”

Aku dan Kang Mamat mencari sepeda onta tua yang kami taruh di semak-semak. Sudah satu jam kami mencarinya,tapi tidak ada hasil. Aku merasa takut. Ayahku pernah bilang, kalau aku harus menggunakan sepeda dengan hati-hati. Aku tidak berani pulang ke rumah. Sampai sore aku masih di daerah itu.


“Dik Puj,ayo kita pulang. Biar nanti aku yang ngomong sama ayahmu!”
“Tapi aku takut.”
“Jangan takut. Semarah-marah Ayahmu masak tega memukul anaknya.”

Dengan perasaan takut aku putuskan untuk pulang ke rumah. Dari pada membuat khawatir ibuku,lebih baik aku pulang meskipun harus dimarahi ayah. Saat tiba di rumahku kami berdua kaget. Tak kami kira ternyata sepedaku sudah ada di rumah.

“Assalamualaikum?”
“Waalaikumsalam. Baru pulang nak?”
“Ya, Bu.”
”Sepedanya kok bisa di sini Bu?”
“Tadi dibawa sama pak Somat.”

Hatiku lega setelah mendengar omongan ibu. Kukira sepedanya hilang, ternyata sudah dibawa pulang pak Somaf, tetanggaku.

* * *
Sampai dewasa ini aku tetap mengingat saat itu. Sebelum aku bertemu Kang Mamat,semalam ia menghubungiku lewat chatting. Mungkin ia juga masih ingat tentang cerita paman Seno dulu.

Pagi harinya aku bertemu dengan kang Mamat. Sekarang ia sudah jadi orang sukses.

Rabu, 07 April 2010

CITA CITA JADI TERORIS (siklus 3)

karya: Burhanuddin


Satu hari lagi aku akan bertemu dengan sahabat lamaku yaitu kang Mamat. Sudah 10 tahun kami tidak bertemu semenjak ia bekerja di Korea.

Aku ingat sewaktu masa kecil dulu. Saat kami kelas 3 SD aku dan kang Mamat pergi ke rumah pamanku. Dia tinggal di Desa Parikan.

Dari Desa Pantunan kami berangkat pukul 07.00 pagi. Jarak desa kami dengan desa pamanku cukup jauh sekitar 10 km.Karena jaraknya yang jauh,kami kesana naik sepeda ontaku.

“Ada apa dik? Kok berhenti di tengah jalan.’ Tanya kang Mamat
“Kelihatannya bannya bocor Kang.” Jelasku pada anak yang bertubuh besar itu”. Aku turun untuk memeriksa keadaan.
“Benar Kang,bannya bocor.”
“Bannya bocor?Terus gimana nih,malah di daerah sepi nih.” Ocehnya sambil memukulkan kayu ke tanah yang dibawanya dari rumah.

Karena ban sepeda kami bocor terpaksa kami harus mendorong sepeda sampai ke rumah Paman. Lama mendorong sepeda tubuh kami terasa lelah. Di tambah dengan panasnya terik mentari yang menyengat kulit kami.

“Dik, gimana kalau sepedanya kita tinggal di sini.”
‘tapi kalau hilang nanti gimana? Aku bisa di marahin sasma bapak.”
“Nggak,nggak. Kita taruh di tempat yang aman. Ha… disana.’
“Tapi aku takut. Gimana kalau sepedanya benar-benar hilang.”
“Jangan khawatir,sepedanya nggak akan hilang kok. Lagian siapa yang mau ngambil sepeda jaman pra sejarah,paling-paling orang waras.”

Setelah mendengar perkataan kang Mamat yang meyakinkan itu,aku putuskan untuk menaruh sepeda di semak-semak. Kami melanjyutkan perjalanan ke rumah Pamanku.

Selang beberapa waktu,kamipun sampai di depan rumah yang agak sempit tapi bersih.
Tubuh kami sangat kelelahan. Wajah kami terlihat merah terbakar.

“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum sal;am.” Jawab suara perempuan yang mempunyai rambut panjang dan wajah selalu ceria itu.”
“dik sofi,Paman ada di rumah nggak?” tanyaku pada anak perempuan yang lebih dewasa 5 tahun dari kami.
“Ada. Sedang membuat mainan di belakang.”
“Membuat mainan apa?” tanya kang Mamat.
“Lihat aja sendiri.”
“Ada siapa Fi?” tanya bi Retno dari dalam rumah.
“Nih, mas Mamat dan mas Puji.”
“Ayo lewat sana,kalau8 mau ketemu paman.”

Kami pergi ke belakang lewat samping rumah. Dengan dik Sofi kami diantar bertemu Paman Seno.

“Apa kabar Paman?” sapaku dan kang Mamat serta bersalaman pada paman Seno.
“Kabar baik. Lama tak jumpa. Bagaimana keadaan keluarg? Baik-baikkan.’
“Alhamdulillah baik-baik. Oh ya Paman, kata dik Sofi paman sedang membuat mainan, mainan apa?” tanyaku penasaran.
Dengan mengotak-atik kayu yang sudah terpotong itu paman menjawab.”’Oh ini ya, paman sedang membuat Angklung.”Membuat Angklung. Kami boleh bantu nggak paman?” tanyaku pada Paman Seno.
“Boleh” jawab Paman Seno.

Kami berdua ikut membantu membuat Angklung. Tidak ingin kalah dengan kami,dik Sofipun ikut berpartisipasi dalam membuat Angklung.

“Kalian mau dengar cerita paman nggak?”
“Cerita apa Paman?”
“Dulu,Paman bercita-cita ingin jadi teroris.”
“Apa Pak? Kenapa Bapak nggak pernah cerita sama Sofi?”
“Kemarin-kemarin Bapak nggak ingat. Begini. Dulu waktu jaman penjajah Belanda menguasai daerah kita Paman lari ke Gunung Kidul bersama penduduk desa. Para penjajah Belanda menguasai dan membunuh penduduk yang mereka jumpai.”
Bagaiman ceritanya paman Seno bisa bercita-cita jadi teroris?” serobot kang Mamat penasaran.
‘Baiklah, kita merujuk pada titik poinnya saja.”

Kami bertiga penasaran dengan paman seno. Wajah ingin tahu terlihat di muka kami bertiga. Hati kami semakin penasaran dengan cerita paman Seno.

“Saat di Gunung Kidul Paman Seno pernah dinasehati Ayah paman.Begini katanya.”Seno, kamu harus menyelamatkan penduduk desa kita ini. Jadilah teroris bagi penjajah.””Jadi teroris Ayah.” Jawabku Begitu. Saat paman penasaran dengan nasehat Ayah paman,tiba-tiba sebuah tembakan mengarah ke tubuh ayah paman.”
“Terus gimana Ayah paman?’ tanya Kang Mamat.
“Ayah paman tergeletak. Ia menyuruh paman lari sejauh mungkin,agar tidak dikejar tentara belanda. Paman menangis sambil berlari. Dengan perasaan yang kurang begitu menentu, campur marah dan rasa takut paman berteriak Sekeras-kerasnya.”
“Setelah itu paman.”
“Paman melaksanakan nasehat ayah paman, yaitu jadi teroris. Tapi cita-cita paman itu tidak lama hilang. Karena sewaktu paman besar penjajah Belanda sudah diusir oleh para pejuang kita. Sudah itu saja ceritanya.”

Mendengar cerita paman,aku merasa tersentuh. Hatiku ikut larut dalam ceritanya. Karena sudah siang kami segera pulang. Kami berjalan dari rumah Paman menuju tempat kami menaruh sepeda.

“Hai Kang,sepedanya dimana?” tanyaku pada kang Mamat saat sampai di tempat menaruh sepeda.
“Iya ya, tadi disinikan?”
“Iya. Aduh gimana nih?”

Aku dan Kang Mamat mencari sepeda onta tua yang kami taruh di semak-semak. Sudah satu jam kami mencarinya,tapi tidak ada hasil. Aku merasa takut. Ayahku pernah bilang, kalau aku harus menggunakan sepeda dengan hati-hati. Aku tidak berani pulang ke rumah. Sampai sore aku masih di daerah itu.

“Dik Puj,ayo kita pulang. Biar nanti aku yang ngomong sama ayahmu.’
“Tapi aku takut.”
“Jangan takut. Semarah-marah Ayahmu masak tega memukul anaknya.”

Dengan perasaan takut aku putuskan untuk pulang ke rumah. Dari pada membuat khawatir ibuku,lebih baik aku pulang meskipun harus dimarahin ayah. Saat tiba di rumahku kami berdua kaget. Tak kami kira ternyata sepedaku sudah ada di rumah.

“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam. Baru pulang nak?”
“Ya bu.”

Hatiku cukup lega. Perasaanku tenang. Meskipun aku tidak tahu siapa yang membawa sepedaku pulang ke rumah.

Sampai dewasa ini aku tetap mengingat saat itu. Sebelum aku bertemu Kang Mamat,semalam ia menghubungiku lewat catting. Mungkin ia juga masih ingat tentang cerita paman Seno dulu.

Pagi harinya aku bertemu dengan kang Mamat. Sekarang ia sudah jadi orang sukses. Mungkin giliran berikutnya aku yang akan menceritakan cerita paman dulu kepada anak dan keponakanku.

Kamis, 18 Maret 2010

TEMPAT TERBAIK UNTUKKU MENCARI ILMU(revisi)


Karya : Burhannuddin


“Ibu,saya berangkat ya,”
“Hati-hati ya Nak,semoga kamu betah disana nanti.”
“Insya Allah Bu. Saya minta do’anya supaya kalau pulang nanti,saya menjadi anak yang soleh,dan berbudi pekerti yang baik,seperti yang Ibu inginkan.”
“Ya Nak,Ibu akan selalu mendo’akanmu,agar kamu selalu dilindungi Allah.”
“Sekarang Imam pergi dulu ya Bu,assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam.”

Setelah berpamitan pada Ibu aku segera pergi dengan Ayahku menuju Jalan Edi Sucipto. Ku naik bis jurusan Magelang Pati. Setelah beberapa jam,akhirnya kami sampai di Jalan Fatkhullah. Dari sana kami berjalan menuju pondok Matoli’ul Falah sejauh 300 m.

Matholi’ul Falah adalah salah satu pondok yang terkenal di Jawa Tengah. Aku sekolah disana karena pendidikan agamanya sangat kuat. Tidak hanya itu,disana ilmu umumnya juga tidak ketinggalan dengan sekolah yang berstandar internasional. Fasilitas-fasilitas yang digunakan sudah banyak.

Kami tiba di sana kira-kira pukul 16.00 wib. Setelah itu ayahku mendaftarkanku ke pengurus pondok. Setelah selesai mendaftar,Ayahku mengajakku kelokasi yang akan kutempati nanti.

“Disini tempatmu,sekarang Ayah pulang ya,nanti Ayah kirimi uang lewat bank BCA setiap bulan. “

“Ya Yah.”
“Baik baik disini nanti.”
“Selalu.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”

Setelah Ayahku pergi, aku segera memasuki kamar yang akan aku tempati nanti. Di kamar tersebut di tempati 8 orang anak,termasuk aku. Saat pertamakali berjumpa mereka,aku agak gugup. Tapi lama-kelamaan juga terbiasa.

“Maaf,siapa nama mas ya,?”tanya teman yang sekamar denganku.
“Saya Imam Syafi’i. Kalau mas siapa?”tanyaku balik pada teman yang baru ku kenal itu.”
“ Saya Imam Hanafi.”Jawabnya.

Setelah berbicara dengan teman – teman baruku itu aku mulai mengenal mereka satu persatu – satu.

Adzan subuh telah dikumandangkan semua santri segera bangun dan mengambil air wudlu.
Kemudian kami shalat berjamaah di musholla dekat rumah sesepuh pondok.Setelah sholat berjamah seluruh santri pergi mandi. Akupun juga ikut,tapi sesampainya disana ternyata antrinya sangat panjang. Saat aku akan mandi ternyata airnya sudah habis. Terpaksa aku berangkat sekolah tidak mandi.

“ Tet…tet…tet..”
Bel telah berbunyi.Semua siswa masuk kelas.

“ Aduh gimana nih sudah masuk,mana aku belum nyiapin buku lagi.”Ujarku kebingungan.

Setelah selesai nyiapin bukuku aku segera berangkat ke madrasah.Aku sampai di sekolah terlambat. Pak guru yang mengajar kebetulan adalah Bapak Ali yang kata teman – temanku dia adalah guru yang sangat disiplin.
Karena aku terlambat,jadi aku dihukum.Aku disuruh berdiri di depan kelas.


“Kamu siapa”Tanya Pak Ali
“Saya Imam Pak!”Jawabku
“Kenapa kamu datang terlambat.”
“Antri mandinya lama Pak.”
“Besok kalau diulangi lagi saya suruh kamu bersihin Wc.”suruh pak Ali.

Karena aku menjawab begitu aku ditertawain teman – teman sekelasku.
Hari pertama aku masuk ternyata sudah mendapatkan kejutan – kejutan yang tak ku duga.
Meskipun begitu aku tidak akan angkat tangan karena ini baru permulaan.

Di dalam kelas kami mencoba mengenal satu dengan yang lain. Saat istirahat aku keluar untuk membaca buku-buku yang ada di perpustakaan. Setelah selesai dari sana aku kembali ke kelas. Pelajaran berikutnya adalah sulamt taufiq. Saat aku mau mengeluarkan buku,ternyata bukuku tidak ada.

“Lho,kemana bukuku.”

Aku bingung. Kucari bukuku. Di laci,di bawah meja,ternyata masih tidak ada.

“Maaf Mas,bukumu tadi diambil sama anak itu.”Kata seorang anak perempuan yang duduk disampingku sambil menunjuk anak yang mengambil bukuku. Akupun segera menghampiri anak itu.

“Maaf kamu yang ambil bukuku ya?”Tanyaku pada anak itu
“Kalau iya memangnya kenapa?”
“Nggak saya Cuma mau mengambil buku yang kamu ambil tadi.”
“kamu berani sama aku?”
“Tidak,aku cuma mau ambil bukuku saja.”
“dyek..”pukul anak itu ke perutku.
“Brek..”terjatuh aku ke tanah.

Saat dia mau memukulku lagi,tiba-tiba pak Idrus masuk kelas. Kamipun segera duduk di tempat kami semula. Aku mengambil bukuku yang jatuh dilantai. Kami duduk dengan rapi. Seolah-olah tidak ada yang terjadi.

“Mam,kamu tidak apa-apa?” tanya Hanafi saat bel untuk solat dibunyikan.
“Nggak apa-apa.”

Setelah pulang sekolah, kami kembali ke kamar masing-masing.Dari jam setengah tiga,sampai jam empat para santri mengaji kitab. Aku dan beberapa anak laki-laki mengaji kitab Ta’lim Muta’alim. Karena jadwal ngajinya berbeda-beda,pulangnyapun tidak pada jam yang sama.
Setelah mengaji kitab Ta’lim Muta’alim dan melaksanakan solat asar,kami mengaji kitab kitab Nahwu.

Sekarang sudah jam 05.30 wib. Kami segera pulang ke kamar kami.
Setelah selesai mandi dan jama’ah solat maghrib,kami mengaji Alquran. Karena baru pertama ke sini,kami diajari kak santri. Yang mengajari kami adalah santri yang sudah hafal Alquran. Karena bayaknya santri yang mengaji,aku menunggu giliranku sampai jam 20.30 wib.

Setelah selesai mengaji,kemudian aku solat isya’. Kemudian aku dan teman-temanku pergi mengaji kitab lagi. Jam 10.00 wib kami baru istirahat.


Hari ke-dua kejutan besar menghampiriku. Aku berangkat ke sekolah tanpa sarapan. Jadi, kuniati untuk berpuasa. Toh hari ini kebetulan hari Kamis. Sesampainya disekolah, aku merasa ngantuk dan lemas sekali.

”Kamu kenapa?”tanya perempuan yang kemarin pernah bicara sama aku.
“Tidak papa. Hanya kelelahan saja.”
”Kamu masih sakit karena kemarin di pukul sama Faisal ya,?”
“Nggak,sudah sembuh kok.”
“Namamu siapa?”
“Namaku Imam. Kalau kamu?”
“Aku Aisyah.”

Tak terasa waktu pelajaran sudah lewat. Sekarang waktunya istirahat. Akupun pergi ke perpustakaan bersama Hanafi. Saat di tengah jalan kami di hadang Faisal dan teman-temannya.

“Hei kamu,kemarin kamu selamat tapi sekarang tidak.”
“Faisal kamu jangan ganggu Imam lagi,”
“Memangnya kenapa?”

Tiba-tiba Faisal memukul Hanafi. Karena aku sudah tidak bisa menahan emosi lagi,kupukul mukanya Faisal. Tak terduga,ternyata pak Idrus Melihat kami. Akhirnya kami disuruh ke kantor.

“Siapa yang mau bicara duluan?”tanya pak Ilham,Kyai Sekaligus pengurus pondok putra.
“Bukan saya pak,Imam yang memukul saya.’ Ujar Faisal.
“Bukan pak. Faisal dulu yang mukul saya.”
“Aku sudah tahu. Tadi Aisyah sudah bilang. Kalian boleh pergi.”

Karena Faisal sering bikin ulah,akhirnya dia dikeluarkan dari pondok. Tidak hanya itu saja,dia juga ketahuan membawa HP saat ada pemeriksaan.

Saat di jalan aku bertemu dengan Aisyah. Akupun segera menghampirinya.

“Aisyah,terimakasih ya, sudah menolongku kemarin.”
“Sama-sama. Itu sudah kewajiban sesama muslim.”

Karena seringnya bertemu,kami berdua saling menyukai. Tapi karena di pondok melarang adanya pacaran,kami hanya sebatas teman saja. Tidak hanya itu, juga karena aku ingin mendapatkan ilmu terlebih dahulu. Mungkin kalau memang jadoh,kami pasti akan bersatu.

Kamis, 11 Maret 2010

KEHIDUPAN DI PONDOK PESANTREN (SIKLUS 2)


“Ibu,saya berangkat ya,”
“Hati-hati ya Nak, semoga kamu betah di sana nanti.”
“Insya Allah Bu. Saya minta doanya supaya kalau pulang nanti, saya menjadi anak yang soleh,dan berbudi pekerti yang baik,seperti yang Ibu inginkan.”
“Ya Nak, Ibu akan selalu mendoakanmu, agar kamu selalu dilindungi Allah.”
“Sekarang Adi pergi dulu, ya Bu, assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam.”

Setelah berpamitan pada Ibu aku segera pergi ke jalan Edi Sucipto. Aku mencari bis jurusan Magelang Pati. Setelah beberapa jam, akhirnya aku sampai di pondok Matoli’ul Falah. Sesampainya di sana aku segera mencari lokasi yang akana ku tempati.

“Maaf Mas, saya mau tanya ,di mana lokasi Blok Barat.”
“Saya nggak tahu, karena saya baru ke sini hari ini dan waktu daftar dan mengikuti tes dulu.”
“Kenalkan nama saya Jayuli, saya dari Kudus. Kalau Mas dari mana?”
“Saya Adi. Saya dari Magelang. Saya juga di Blok Barat. Jika begitu bagaimana kalau kita cari bersama-sama.”
“Ya, boleh saja.”

Setelah bercakap-cakap, kemudian kami pergi mencari lokasi yang akan kita tempati. Karena banyaknya gedung dan tempatnya yang luas, kami mencarinya sangat lama. Setelah beberapa jam kami pun menemukukan lokasi tersebut. Kami segera masuk ke tempat tersebut.

“Adi kita sekarang mencarinya ke mana, ya,”
“Mungkin kita keatas saja, mungkin tempat kita disana.”

Setelah sampai di tingkat ketiga, sampailah kami di tempat yang kami cari tempat yang kami cari. Kami segera menaruh barang-barang yang kami bawa di kamar kami.

Waktu berjalan cepat. Hari sudah malam. Aku tidur di kamar bersama enam orang teman yang baru aku kenal. Adzan subuh telah dikumandangkan dari mushola yang ada di dekat pondok putri.

“ Semuanya ayo kita ke mushola untuk sholat jamaah.”
“ Hai Adi, kamu bawa sajadah nggak?”
“ Ya “

Setelah sholat berjamah seluruh santri pergi mandi. Aku pun juga ikut, tapi sesampainya di sana ternyata antrinya sangat panjang. Saat aku akan mandi ternyata airnya sudah habis. Terpaksa aku berangkat sekolah tidak mandi.

“ Tet…tet…tet..”
“ Aduh gimana nih sudah masuk “

Setelah mendengar bel aku dan teman-temanku segera masuk kelas. Pelajaran pertama adalah Nahwu. Karena kami baru masuk dan belum punya kitabnya, kami harus mencatat beberapa bab tentang pelajaran nahwu.

Di dalam kelas kami mencoba mengenal satu dengan yang lain. Saat istirahat aku keluar untuk membaca buku-buku yang ada di perpustakaan. Setelah selesai dari sana aku kembali ke kelas. Pelajaran berikutnya adalah sulamat taufiq. Saat aku mau mengeluarkan buku, ternyata bukuku tidak ada.

“Lho, ke mana bukuku.”

Aku bingung. Kucari bukuku. Di laci,di bawah meja, ternyata masih tidak ada.

“Maaf Mas,bukumu tadi diambil sama anak itu.”Kata seorang anak gadis sambil menunjuk anak yang mengambil bukuku. Akupun segera mengambil buku yang dibawa anak laki-laki tersebut.

Setelah pulang sekolah, kami kembali ke kamar masing-masing.Dari jam setengah tiga, sampai jam empat para santri mengaji kitab. Aku dan beberapa anak laki-laki mengaji kitab Ta’lim Muta’alim. Karena jadwal ngajinya berbeda-beda, pulangnya pun tidak pada jam yang sama.

Setelah mengaji kitab Ta’lim Muta’alim dan melaksanakan solat asar,kami mengaji kitab Sulamut Taufiq. Sekarang sudah jam 05.30 wib. Kami segera pulang ke kamar kami.

Setelah selesai mandi dan jama’ah solat maghrib, kami mengaji Alquran. Karena baru pertama ke sini,kami diajari kak santri. Yang mengajari kami adalah santri yang sudah hafal Alquran. Karena bayaknya santri yang mengaji,aku menunggu gIliranku sampai ja 09.00 wib.

Setelah selesai mengaji,kemudian aku solat isya’. Selesai itu aku dan teman-temanku pergi mengaji kitab lagi. Jam 10.00 wib kami baru istirahat.
Hari ini adalah hari pertamaku menjalani kegiatan di pondok ini. Ternyata hidup di pondok tidak semudah yang kukira. Tetapi juga ada enaknya. Hidup di pondok perlu perjuangan. Tidak hanya bermalas-malasan saja, seperti saat di rumah sendiri.

Hari ke-dua diriku semakin diuji. Aku berangkat ke sekolah tanpa sarapan. Jadi, kuniati untuk berpuasa. Toh hari ini kebetulan hari Kamis.

Saat pergi ke sekolah, aku merasa ngantuk dan lemas sekali
”Kamu kenapa?”tanya perempuan yang kemarin pernah bicara sama aku.
“Tidak papa. Hanya kelelahan saja.”
”Kamu dari mana?”tanyanya lagi.
“Aku dari MTs N 1 Magelang. Emangnya kenapa tanya-tanya gitu?”
“Hanya tanya saja!” jawabnya sambil memalingkan wajahnya dan pergi dari hadapanku.
“Maafkan aku, bukan maksudku menyinggung perasaanmu. Tapi karena aku tidak ingin kamu ke luar dari pondok ini gara-gara aku. Karena peraturan di sini tidak memperbolehkan laki-laki perempuan bertemu secara langsung.

Sudah satu minggu kujalani hidup di pondok. Ternyata, banyak sekali pengalaman yang kudapat dari nyantri alias mondok di sini. Tidak hanya ilmu agama yang kudapatkan tetapi juga ilmu umum. Mungkin tidak hanya aku yang merasakan di pondok seperti ini. Banyak juga yang merasa senang merasakan kehidupan di pondok pesantren.


























Jumat, 26 Februari 2010

NASIBKU KETEMU WARTO (Revisi)

karya Burhan 9@

Adzan subuh telah dikumandangkan. Aku bangun dari ranjangku. Pergi ke tempat wudhu yang ada di samping masjid. Tempat wudhu yang sudah termakan usia itu, sebenarnya sudah tidak layak untuk dipakai. Tapi, itu tidak akan lama, karena sebentar lagi akan dibangun oleh lembaga PLAN. Setelah jama’ah solat subuh, aku segera pulang ke rumah.

Fajar mulai menghilang. Matahari mulai menampakkan sinarnya. Segera aku mandi bersama teman-temanku di Sungai Tuntang. Bersama Ikmal,Puji,Surur, akubermain di salah satu sungai terpanjang di Jawa Tengah itu.

“Ayo Ik, tunjukkan saltomu dari sana.” Ujar Surur.
“Oke. Lihat gayaku.” Lompat Ikmal.

Dari tepi sungai terlihat seorang cowok. Jalannya yang agak miring-miring sedikit, kayak orang kesetrum, dan rambutnya yang kribo itu, membuatnya terlihat hampir mirip Giring Nidji. Dengan pakaian seperti salah satu suku di Papua, dia mendekati kami. Rambutnya yang jadul, dan tubuhnya yang tak berlemak itu, menjadi ciri tersendiri yang tak di miliki oranglain.

“Hai Bur, lihat tu, ada teman Laswadi. Tetanggamu yang stress itu.”
“Kamu itu Mal, bisanya menghina aku aja. Ayo kita pulang sekarang, biar enggak disusahin dia.”


Perlahan ia semakin mendekati kami. Kamipun hendak lari darinya. Saat kami akan lari,ternyata dia sudah ada di depan kami. Kamipun terkejut.

“ Ha… mau ke mana kalian? Lihat apa ini? Kalian mau?”
“ Enggak Om, kami mau pulang.” Jawab Surur ketakutan.
Dengan wajah ketakutan, kamipun segera pergi dan mengambil pakaian yang kami letakkan di tepi sungai. Tanpa memakai pakaian lengkap, Ikmal segera pergi dengan sepedanya. Tanpa berpikir panjang, Surur,Puji dan aku segera menyusul Ikmal meskipun hanya memakai celana dalam saja.

” Hai, kalian, kenapa hanya memakai celana dalam aja?” Tanya tiga anak perempuan sambil berteriak dan menutup matanya.
“ Ahhh..” Teriak kami bertiga.

Kamipun segera pergi ke tempat tertutup. Tempat terdekat adalah tempat wudhu yang ada di samping masjid itu.masuk ke tempat wudhu untuk memakai pakaian kami.

“Coe, kalian lihat keteknya Warto enggak? Bulunya ada tiga.”
“Ya kamu benar Puj, bahkan ,kanan kiri lagi.”
“eh enggak usah ngomongin itu ah, lebih baik kita pulang aja ,entar kalau kita telat, pak andre marah lagi.”

Setelah kami ganti pakaian di tempat wudhu tadi, kami segera pulang ke rumah masing-masing. Sekarang sudah jam 06.30. Aku segera ganti baju dan sarapan pagi. Setelah itu, aku segera berangkat sekolah naik sepeda onta milik kakekku.

Di tengah jalan aku bertemu dengan kudi dan aji. Aku menyuruh mereka naik sepedaku. Saat di belokkan, tiba-tiba muncul kakek tua yang berlawanan arah dari kami.

“Blak.. Brek…Aduh… Gimana kamu Bur, sakit tahu!”
“Maaf aku enggak tahu Aj,kalau ada kakek tua di depan.”
“Makanya sepedanya dikasih rem,biar nggak sembarang nabrak!”

Saat kami jatuh tadi, aku melihat tiga ekor burung yang terbang bersama-sama. Tapi aku tidak begitu memikirkan hal tersebut. Yang aku pikirkan adalah celana kami yang basah.Meskipun celana kami basah,tapi kami tetap melanjutkan perjalanan,karena ilmu sangatlah berharga bagi kami. Kamisegera bangun dan kemudian melanjutkan pergi ke sekolah.

Sampai di sekolah ternyata sudah jam 07.03. kami bertiga dihukum pak Andre. Setelah dihukum kami di suruh untuk duduk ditempat duduk kami. Saat jam istirahat,aku pergi ke kantin.

Disana aku bertemu seorang anak laki-laki yang seperti big show(pemain ECW). Aku makan bakwan buatan mak Ijah,dan beberapa makanan lainnya.Saat aku mau pergi dari kantin,seorang anak yang mirip big sow itu menghadangku.

“Minggir!”Bentakku.
“Kamu berani ama aku?”
“Biarpun kamu kayak kerbau,tapi ku lagi nggak mau lawan kamu. Tapi kalau kamu memaksa, oke.”
“Dieeek...”Pukul David.
“Breeek.”Terjatuh aku.
“Plaaak.”Balasku sambil memukul tubuhnya.
“Bleeek.”Terjatuh David.

Saat terjadi pertengkaran,tiba-tiba datanglah bu Ratna.
“Berhenti.”Lerai bu Ratna.”Burhan kamu ikut ke kantor”.
“Tapi Bu,saya nggak salah.”Belaku.
“Udah jangan membantah,ayo ikut ke kantor”.

Akupun dihukum.Mungkin karena aku kurang sabar dalam menghadapi cobaan ini.Tapi aku percaya,disetiap kesulitan pasti ada kemudahan.

Setelah pulang sekolah aku masih memikirkan kejadian tadi pagi. Sesampainya di rumah aku melihat banyak orang di teras. Kutaruh sepedaku disamping rumahku.

“ Paman, ada apa ini? Kenapa banyak orang?
“Ibumu melahirkan”
“Benarkah?”
“Iya.”

Adikku tiba-tiba keluar dari rumah dan melewati kerumunan orang-orang itu dan kemudian menghampiriku.

“Mas! Mas!Kita punya adik.”
“kita punya adik?Perempuan pa laki-laki?”
‘Perempuan..Dia punya pusar tiga.”

Saat aku mendengar itu, aku berpikir Kejadian tadi pagi. Melihat burung,bertemu anak perempuan,melihat bulu ketek WArto,dan sekarang mendengar adikku punya pusar tiga. Kebingunganku bertambah saat tiba-tiba Warto mngagetkanku. Akupun terkejut. Mungkin ini nasibku bertemu WArto.

Rabu, 24 Februari 2010

SANGKUT PAUT DIRIKU DENGAN ADIKKU

cerpen karya burhan 9a





Adzan subuh telah dikumandangkan. Aku bangun dari ranjangku. Pergi ke tempat wudhu yang ada di samping masjid. Tempat wudhu yang sudah termakan usia itu, sebenarnya sudah tidak layak untuk dipakai. Tapi, itu tidak akan lama, karena sebentar lagi akan dibangun oleh lembaga PLAN. Setelah jama’ah solat subuh, aku segera pulang ke rumah.

Fajar mulai menghilang. Matahari mulai menampakkan sinarnya. Segera aku mandi bersama teman-temanku di Sungai Tuntang. Bersama Ikmal,Puji,Surur, bermain di salah satu sungai terpanjang di Jawa Tengah itu. “Ayo Ik, jumpingkan sepedamu dari sana.” Ujar Surur.

Dari jauh terlihat sesosok makhluk yang hampir mirip Giring Nidji. Dengan pakaian seperti salah satu suku di Papua, dia mendekati kami. Rambutnya yang jadul, dan tubuhnya yang tak berlemak itu, menjadi ciri tersendiri yang tak di miliki oranglain. Perlahan lahan ia mendekati kami. Kamipun hendak lari darinya. Saat kami akan lari,ternyata dia sudah ada di depan kami. “ Ha… mau ke mana kalian? Lihat apa ini?” Dengan wajah ketakutan, kamipun segera pergi dan mengambil pakaian yang kami letakkan di tepi sungai. Tanpa memakai pakaian lengkap, Ikmal segera pergi dengan sepedanya. Tanpa berpikir panjang, Surur,Puji dan aku segera menyusul Ikmal meskipun hanya memakai celana dalam saja.” Hai, kalian, kenapa hanya memakai celana dalam aja?” Tanya tiga anak perempuan sambil berteriak dan menutup matanya. Kamipun segera masuk ke tempat wudhu untuk memakai pakaian kami.

“Coe, kalian lihat keteknya Warto enggak? Bulunya ada tiga.”
“ Ya kamu benar Puj, bahkan ,kanan kiri lagi.”
“eh enggak usah ngomongin itu ah, lebih baik kita pulang aja ,entar kalau kita telat, pak andre marah lagi.”

Setelah kami ganti pakaian di tempat wudhu tadi, kami segera pulang ke rumah masing-masing. Sekarang sudah jam 06.30. Aku segera ganti baju dan sarapan pagi. Setelah itu, aku segera berangkat sekolah naik sepeda onta milik kakekku. Di tengah jalan aku bertemu dengan kudi dan aji. Aku menyuruh mereka naik sepedaku. Saat di belokkan, tiba-tiba muncul kakek tua yang berlawanan arah dari kami.

“Blak.. Brek…Aduh… Gimana kamu Bur, sakit tahu!”
“Maaf aku enggak tahu kalau ada kakek tua di depan.”

Saat kami jatuh tadi, aku melihat tiga ekor burung yang terbang bersama-sama. Tapi aku tidak begitu memikirkan hal tersebut. Kami segera bangun dan kemudianmelanjutkan pergi ke sekolah.

Sampai di sekolah ternyata sudah jam 07.03. kami bertiga dihukum pak Andre. Setelah dihukum kami di suruh untuk duduk ditempat duduk kami.

Setelah pulang sekolah aku masih memikirkan kejadian tadi pagi. Sesampainya di rumah aku melihat banyak orang di depan rumah.

“ Paman, ada apa ini? Kenapa banyak orang?
“Ibumu mau melahirkan”

Adikku tiba-tiba keluar dari rumah dan melewati kerumunan orang-orang itu dan kemudian menghampiriku.

“Mas! Mas! kita punya adik perempuan.”dengan wajah bahagia.

Saat aku mendengar itu, aku berpikir mungkin ini sangkut paut diriku dengan adikku.

Minggu, 10 Januari 2010

DESAKU

DI DESAKU ADA BANYAK KEINDAHAN-KEINDAHAN YANG BISA KULIHAT. PERBUKITAN-PERBUKITAN DAN SAWAH YANG MENGELILINGINYA MEMBUAT UDARA YANG ADA DI DESAKU SEGAR DAN FRESH. HAMPIR SETIAP SORE DI LAPANGAN DESA KAMI BERMAIN BOLA SETELAH PULANG SEKOLAH SORE DI WAKTU AKU MASIH KECIL. SEKARANG AKU JARANG BERMAIN SEPAK BOLA DI LAPANGAN SEPAK BOLA DESA. MESKIPUN BEGITU AKU TETEP BANGGA MENJADI ANAK WATES.

WATES DESAKU

Aku lahir di desa wates. di desaku itu terdapat banyak keindahan-keindahan bagiku. meski tidak maju,tetapi desaku termasuk desa yang subur. Sawah-sawah dan perbukitan yang mengelilingi desaku serta polusi udara yang belum tercemar di desaku membuatnya tampak nyaman dan fresh di saat pagi hari.aku bangga dengan desaku.

wates desaku

aku lahir di desa wates.

wates-desaku

Aku lahir di desa wates kecamatan kedungjati kabupaten grobogan.

wates-desaku

Aku lahir di desa wates kecamatan kedungjati kabupaten grobogan