Minggu, 18 April 2010

CITA CITA JADI TERORIS(revisi)

Karya Burhanuddin



Satu hari lagi aku akan bertemu dengan sahabat lamaku yaitu kang Mamat. Sudah 10 tahun kami tidak bertemu semenjak ia bekerja di Korea.

Aku ingat sewaktu masa kecil dulu. Saat kami kelas 3 SD aku dan kang Mamat pergi ke rumah pamanku. Dia tinggal di Desa Parikan.

Dari Desa Pantunan kami berangkat pukul 07.00 pagi. Jarak desa kami dengan desa pamanku cukup jauh sekitar 10 km.Karena jaraknya yang jauh,kami ke sana naik sepeda ontaku.

Saat di tengah jalan tiba-tiba sepeda kami terasa tidak nyaman, tidak seperti biasanya. Kami berdua turun untuk memeriksa keadaan sepeda.

“Ada apa, Dik? Kok berhenti,” tanya kang Mamat
“Kelihatannya bannya bocor, Kang,” jelasku pada anak yang bertubuh besar itu. Aku turun untuk memeriksa keadaan.
“Benar Kang,bannya bocor.”
“Bannya bocor?Terus gimana nih,malah di daerah sepi nih,” ocehnya sambil memukulkan kayu ke tanah yang dibawanya dari rumah.

Karena ban sepeda bocor, terpaksa kami harus mendorong sepeda sampai ke rumah Paman. Lama mendorong sepeda tubuh kami terasa lelah. Ditambah dengan panasnya terik mentari yang menyengat kulit kami.

“Dik, gimana kalau sepedanya kita tinggal di sini.”
‘Tapi kalau hilang nanti gimana? Aku bisa di marahin sama bapak.”
“Nggak,nggak. Kita taruh di tempat yang aman. Ha… dis ana!”
“Tapi aku takut. Gimana kalau sepedanya benar-benar hilang.”
“Jangan khawatir,sepedanya nggak akan hilang, kok. Lagian siapa yang mau ngambil sepeda zaman prasejarah,paling-paling orang waras.”

Setelah mendengar perkataan kang Mamat yang meyakinkan itu,aku putuskan untuk menaruh sepeda di semak-semak. Kami melanjutkan perjalanan ke rumah pamanku.

Selang beberapa waktu,kami pun sampai di depan rumah yang agak sempit tapi bersih.
Tubuh kami sangat kelelahan. Wajah kami terlihat merah terbakar.

“Assalamualaikum?”
“Waalaikumsalam,” jawab suara perempuan yang mempunyai rambut panjang dan wajah selalu ceria itu.
“Dik Sofi,Paman ada di rumah, nggak?” tanyaku pada anak perempuan yang lebih dewasa 5 tahun dari kami.
“Ada. Sedang membuat mainan di belakang.”
“Membuat mainan apa?” tanya kang Mamat.
“Lihat aja sendiri.”
“Ada siapa Fi?” tanya bi Retno dari dalam rumah.
“Nih, mas Mamat dan mas Puji.”
“Ayo lewat sana,kalau mau ketemu ayah.”

Kami pergi ke belakang lewat samping rumah. Dengan Dik Sofi kami diantar bertemu Paman Seno.

“Apa kabar Paman?” sapaku dan kang Mamat serta bersalaman pada paman Seno.
“Kabar baik. Lama tak jumpa. Bagaimana keadaan keluarga? Baik-baik kan?”
“Alhamdulillah baik-baik. Oh ya Paman, kata Dik Sofi paman sedang membuat mainan, mainan apa?” tanyaku penasaran.
Dengan mengotak-atik kayu yang sudah terpotong itu paman menjawab.
”Oh ini ya, paman sedang membuat angklung.”
”Membuat Angklung. Kami boleh bantu nggak, Paman?” tanyaku pada Paman Seno.
“Boleh,” jawab Paman Seno.

Kami berdua ikut membantu membuat Angklung. Tidak ingin kalah dengan kami,Dik Sofi pun ikut berpartisipasi dalam membuat Angklung.

“Kalian mau dengar cerita Paman nggak?”
“Cerita apa Paman?”
“Dulu, sewaktu masih kecil,paman bercita-cita ingin jadi teroris.”
“Apa Pak? Kenapa Bapak nggak pernah cerita sama Sofi?”
“Kemarin-kemarin Bapak nggak ingat. Begini. Dulu waktu zaman penjajah Belanda menguasai daerah kita Paman lari ke Gunung Kidul bersama penduduk desa. Para penjajah Belanda menguasai dan membunuh penduduk yang mereka jumpai.”
”Bagaiman ceritanya Paman Seno bisa bercita-cita jadi teroris?” serobot kang Mamat penasaran.
”Baiklah, kita merujuk pada titik poinnya saja.”

Kami bertiga penasaran dengan paman seno. Wajah ingin tahu terlihat di muka kami bertiga. Hati kami makin penasaran dengan cerita paman Seno.

“Saat di Gunung Kidul Paman Seno pernah dinasihati Ayah paman.
Begini katanya,”Seno, kamu harus menyelamatkan penduduk desa kita ini. Jadilah teroris bagi penjajah.”
”Jadi teroris, Ayah?” jawabku begitu.
Saat paman penasaran dengan nasihat Ayah paman,tiba-tiba sebuah tembakan mengarah ke tubuh ayah paman.”
“Terus gimana Ayah paman?” tanya Kang Mamat.
“Ayah paman tergeletak. Ia menyuruh paman lari sejauh mungkin,agar tidak dikejar tentara Belanda. Paman menangis sambil berlari. Dengan perasaan yang kurang begitu menentu, campur marah dan rasa takut paman berteriak Sekeras-kerasnya.”
“Setelah itu paman?” tanyaku.
“Setelah itu, aku pergi ke tempat yang aman bersama penduduk yang masih hidup. Kami masuk di sebuah goa yang namanya Goa Mereng. Di sana Paman beserta penduduk desa berlatih pencak silat. Dengan kayu pring dan beberapa kayu mahoni, kami membuat senjata. Tongkat dan panah serta jebakan lainnya kami buat untuk melawan penjajah.”
“Terus-terus Paman.”
“Setelah beberapa hari kami mempersiapkan diri dan senjatai, kami diam-diam pulang ke desa untuk memantau keadaan. Dan ternyata, di desa ada sekitar tiga puluh pasukan Belanda yang sedang istirahat. Dengan penuh kecerdikan, kami akhirnya menyerbu pasukan tersebut.”
“Akhirnya paman menang?” tanya kang Mamat.
“Selang beberapa menit, akhirnya mereka terkalahkan. Kami mengambil senjata dan mengusir tentara Belanda dari desa kami. Paman merasa mungkin inilah yang dimaksud cita-cita jadi teroris oleh ayah paman.”


Mendengar cerita paman,aku merasa tersentuh. Hatiku ikut larut dalam ceritanya. Karena sudah siang kami segera pulang. Kami berjalan dari rumah Paman menuju tempat kami menaruh sepeda.

“Hai Kang,sepedanya di mana?” tanyaku pada kang Mamat saat sampai di semak-semak tempat menaruh sepeda.
“Iya, ya, tadi di sini kan?”
“Iya. Aduh gimana, nih?”

Aku dan Kang Mamat mencari sepeda onta tua yang kami taruh di semak-semak. Sudah satu jam kami mencarinya,tapi tidak ada hasil. Aku merasa takut. Ayahku pernah bilang, kalau aku harus menggunakan sepeda dengan hati-hati. Aku tidak berani pulang ke rumah. Sampai sore aku masih di daerah itu.


“Dik Puj,ayo kita pulang. Biar nanti aku yang ngomong sama ayahmu!”
“Tapi aku takut.”
“Jangan takut. Semarah-marah Ayahmu masak tega memukul anaknya.”

Dengan perasaan takut aku putuskan untuk pulang ke rumah. Dari pada membuat khawatir ibuku,lebih baik aku pulang meskipun harus dimarahi ayah. Saat tiba di rumahku kami berdua kaget. Tak kami kira ternyata sepedaku sudah ada di rumah.

“Assalamualaikum?”
“Waalaikumsalam. Baru pulang nak?”
“Ya, Bu.”
”Sepedanya kok bisa di sini Bu?”
“Tadi dibawa sama pak Somat.”

Hatiku lega setelah mendengar omongan ibu. Kukira sepedanya hilang, ternyata sudah dibawa pulang pak Somaf, tetanggaku.

* * *
Sampai dewasa ini aku tetap mengingat saat itu. Sebelum aku bertemu Kang Mamat,semalam ia menghubungiku lewat chatting. Mungkin ia juga masih ingat tentang cerita paman Seno dulu.

Pagi harinya aku bertemu dengan kang Mamat. Sekarang ia sudah jadi orang sukses.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar