Rabu, 17 Oktober 2012

SURAT CINTA ABADI

Pelan dan semakin pelan angin berhembus. Berhenti, kala mentari merasa malu, saat sang purnama datang dengan membawa berjuta cahaya dari sang bintang. Seluruhnya berkelip tanpa kejora. Perasaan senang belum hilang, dari bayang dan ayang, dari angan, dari bayangan faqirul habib. Pria yang selalu merasa percaya diri itu sedang bingung karena sesuatu, yang telah terjadi, kemarin pagi. “Jika kamu ingin ta’aruf padaku, dan menjadi orang yang kucintai setelah Tuhan dan Nabiku, maka buatkanlah surat cinta yang tak akan pernah berubah sampai kapanpun, dan kamu akan membacakannya ketika prosesi ta’aruf yang lebih dalam lagi pada ku. ” Itulah sejumlah kata yang terucap dari bibir seorang wanita yang akan menjadi teman Faqirul habib saat berikrar janji suci yang disaksikan ayat–ayat suci dan lafadz اشهد ان لا اله الاالله واشهد ان محمد الرسول الله besok Idul Adha. Hari ini pun, dia masih bingung dengan kata- kata ”Puisi yang takkan pernah berubah sampai kapan pun.” Memang benar kalau Faqirul habib itu ahli puisi dan karyanyapun sudah setumpuk buku, setebal buku Ensiklopedi Islam, akan tetapi tak akan pernah berubah sampai kapanpun itu mustahil! Mana mungkin tidak berubah, setiap era dan masa pasti akan bergulir antara satu judul puisi dan yang lain, sehingga pendengarpun tidak bosan dangan bentuk puisi yang monoton. Sedari begitu, Faqirul habib tidak lekas putus asa, dan menyerah dari usahanya untuk mendapatkan cintanya dari Khurun ‘In, wanita yang membuatnya harus berfikir cerdas dan bekerja keras. Lama ia termenung setelah membuat beberapa puisi, diantaranya adalah Di Ufuk Bintang, Matahari Berjalan, Maha Dewiku, dan Lebih Dari Kleopatra. Di dalam kamar, ia masih sibuk membuat kata perkata, baris perbaris dan puisi perpuisi, akan tetapi diantara kesemuanya itu pasti akan berubah dan lenyap. Ia masih berusaha membuat lembaran-lembaran puisi di dalam kamar. Tak henti-henti tangannya mengukir kertas dengan pena. Sampai akhirnya ia pun terlelap di atas meja kesayangannya. Di malam yang sunyi itu ia bermimpi bertemu dengan Khurun ‘In. ” Dik Khurun, kenapa kamu memberikan ku persoalan yang aku tidak mampu?” Tanya Faqirul habib saat di dalam Masjid. ”Aku tidak akan membuatmu begitu karena aku yakin kamu pasti mampu. Dan kamu pasti bisa mas habib ” Kata-kata lembutnya pada Faqirul habib. Dan seketika itu juga, Khurun ‘In menghilang beserta wajah cerianya. Faqirul habib pun bingung. Sekarang ia sendirian di dalam masjid. Ia masih berusaha menjernihkan pikirannya. Dan tak lama kemudian ia bertemu dengan sesosok wanita yang tak dikenalinya. Wanita tersebut hanya berucap bahwa jawaban yang dicari Faqirul habib ada di lembaran-lembaran yang biasa dibacanya. Seketika itu Faqirul habib tersadar dari tidurnya. Dan ia pun bangun menuju tempat lembaran itu. Sebelumnya, ia basuh mukanya dengan air wudlu. Kemudian melakukan sholat malam. Selesai itu, kemudian mengambil sesuatu dari lemarinya. Ia ambil sesuatu yang sering dibacanya. Ia membaca ayat-ayat pada mushaf. Dan sekarang ia paham, inilah puisi yang tak akan berubah sampai kapan pun.

Jumat, 20 Januari 2012

KRISTAL JALAN-JALAN KE SUARA MERDEKA

Pagi mulai menampakan indahnya. Tak ayal perasaan kami semakin tertarik untuk melakukan kunjungan. Mentari masih tersipu malu, hanya sederet cahaya yang terpancar dari ufuk timur. Suasana segarnya pagi masih terasa di sukma kami.
Di pondok masih sepi. Segala perlengkapan telah kami persiapkan untuk kegiatan nanti. Sekarang waktu menunjukan pukul 06.45 wib. Dari pondok, segera kami bergegas menuju Madrasah. Tak beda jauh dari pondok. Di Madrasahpun suasananya masih sepi. Hanya beberapa santri putri yang terlihat lewat di depan MA selepas pulang dari makam simbah K.H. Syamsuri Dahlan.
Mula rencana, kami (team redaksi kristal dan kawan-kawan), akan bertolak dari MA menuju tempat kunjungan (Kantor Suara Merdeka) pukul 07.00 wib. Itu dilakukan supaya persiapan bisa lebih matang ketika tiba di sana. Namun, karena ada sedikit gangguan, pemberangkatan diundur 1 jam. Entah terlambat karena apa, perjalanan sedikit terasa berbeda. Akan tetapi, itu sedikit pudar ketika kami sudah sampai di Karangawen. Udara panas telah merasuki tubuh kami. Semakin bersemangat untuk sampai di daerah tujuan.
Sekitar satu jam perjalanan akhirnya kami sampai di sana (Kantor Suara Merdeka), tepatnya pukul 09.00 wib. Akhirnya, perasaan sesal kami terbayar oleh pemandangan yang belum kami bayangkan. Megah dan indah. Itulah perasaan yang terbayang di benak kami ketika pertamakali melihatnya.
Letaknya yang cukup strategis membuatnya dilewati oleh banyak orang. Disebelah baratnya ada kampus yang megah, yaitu kampus UNISULA.
Oh ya, awal perjalanan menjelajahi Kantor Suara Merdeka, kami disuguhkan pemandangan yang cukup membuat tertarik hati. Yaitu di depan kantor tersebut ada sebuah mesin besar. Setelah kami mencari informasi tentang alat tersebut, ternyata itu adalah mesin cetak surat kabar Suara Merdeka pertamakali. Sekarang, surat kabar tersebut akan berumur 62 tahun, tepatnya tanggal 11 Februari nanti. Mulai dari masa pendirinya yaitu bapak Heitami, kemudian diteruskan oleh menantunya yaitui bapak Budi Santoso dan sampai sekarang ini adalah generasi ketiga, yaitu dipimpin oleh bapak Surya Wicaksono (cucu dari pendiri surat kabar Suara Merdeka).
Awal mula masuk, kami merasa heran. Mulai dari lantai pertama sampai lantai ketiga, tak terlihat keramaian sedikitpun. Ruang penyambutan berada di lantai dua. Kami duduk di ruangan yang biasanya digunakan untuk rapat redaksi. Beberapa menit kemudian perwakilan dari surat kabar Suara Merdeka memasuki rungan tersebut.
“Sebelumnya kami ucapkan terimakasih kepada MA Tajul Ulum yang telah menjadikan kantor berita kami sebagai tempat study banding dalam kegiatan pengembangan kejurnalistikan anak-anak (kristal dan perwakilan Osis).” Itulah sepatah kata yang terucap dari pak Jokomono (perwakilan surat kabar Suara Merdeka) tentang rasa terimakasihnya atas kunjungan MA Tajul Ulum. Beliau adalah karyawan yang mengurusi dibagian pemberitaan daerah Muria dan sekitarnya.
Duduk disamping beliau adalah mbak Maratun Nasikhah. Dia adalah yang mengurusi bagian berita internasional. Sesi tanya jawab mengenai kegiatan jurnalistik adalah dengan beliau.
“ Seandainya kita sebagai anggota jurnalistik suatu majalah, kemudian kita mempunyai karya sendiri. Dari situ kita ingin menerbitkan karya yang kita buat. Apakah jika saya menerbitkan hasil karya sendiri itu salah?” tanya seorang anggota jurnalistik kristal pada mbak Nasikh (sapaan akrab mbak Maratun Nasikhah).
“Ngapain tidak boleh? Itukan termasuk hak kita. Tidak ada kode etik kejurnalistikan yang melarang hal tersebut. Asalkan tidak setiap edisi.” Tukasnya dengan diiringi senyum manisnya. Siswa lain (M. Fadli Ashari) juga menanyakan kepada mbak Nasikh tentang bagaimana cara menarik minat orang untuk menulis. Dia mengatakan bahwa untuk menarik minat pembaca itu adalah termasik hal yang paling sulit. Namun jika ada beberapa ketentuan, maka beritanya bisa menarik diantaranya adalah beritanya harus abtudit, aktual, unik, menyangkut orang yang terkenal, dan tentunya berkaitan dengan kepentingan orang banyak.
200 wartawan dan 90 redaktur dimiliki oleh surat kabar Suara Merdeka. Di waktu pagi dan siang mereka mengumpulkan berita. Sedangkan sore dan malamnya adalah proses pengetikan dan pengeditan sampai pada percetakan dan pengiriman. Rapat diadakan setiap hari. Dan pesertanya adalah kepala biro bagian pemberitaan, mulai dari berita nasional, olahraga, pendidikan, selebriti, sampai yang internasional. Untuk yang berita internasional, tidak ada wartawannya. Untuk mendapatkan informasi seputar dunia luar, mereka membeli dari kantor berita luar negeri, yaitu BBC (Inggris), CNN (Amerika), AFP (Perancis) dan kantor berita lainnya yang bagian tersebut diurusi oleh mbak Nasikh dan dua temannya.
Setelah melakukan sesi tanya jawab, kemudian kami diajak pak Jokomono berkeliling di setiap ruang, mulai dari ruang proses pengetikan, grafis, pengeditan sampai ruang percetakan.
Diruang percetakan ada tiga mesin, namun yang digunakan ada dua, yang satu sebagai cadangan.
Nah, setelah tahu bagaimana cerita kami saat berkunjung di kantor surat kabar Suara Merdeka, tertarikkah kalian untuk berkunjung ke sana? jika ia, selamat mencoba.

Sabtu, 31 Desember 2011

DIFFERENT OF JURN AND PERS

Perbedaan Jurnalistik, Pers, dan Media

November 2, 2009 pada 1:15 pm (Jurnalistik)
Tags: fungsi..., perbedaan

Perbedaan Pers, Jurnalistik dan Media

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Fungsi pers :
· Informatif
· Kontrol kinerja (pemerintah & perusahaan)
· Interpretatif & direktif
· Menghibur
· Regeneratif
· Melindungi hak warga negara
· Ekonomi
· Swadaya

Pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur social politik di dalam mana ia beroperasi.

Jurnalistik adalah “bidang kajian” mengenai pembuatan dan penyebarluasan informasi (peristiwa, opini, pemikiran, ide) melalui media massa. Jurnalistik termasuk ilmu terapan (applied science) yang dinamis dan terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan dinamika masyarakat itu sendiri. Sebaga ilmu, jurnalistik termasuk dalam bidang kajian ilmu komunikasi, yakni ilmu yang mengkaji proses penyampaian pesan, gagasan, pemikiran, atau informasi kepada orang lain dengan maksud memberitahu, mempengaruhi, atau memberikan kejelasan

Media yaitu alat atau sarana komunikasi. “media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian rupa sehingga terjadi proses belajar”.

jurnalistik

Lampiran
menarik perhatian. Yang ditulisnya dalam buku
“Your News Paper”
, beritaadalah sebuah konpilasi (susunan) kenyataan-kenyataan tentang kejadian sekarangyang menarik perhatian atau berarti penting bagi para pembaca surat kabar yangmemuat berita-berita itu.Menulis suatu karya jurnalistik lebih mudah dari pada menulis suatukarangan fiksi seperti cerpen, dongeng atau bahkan sebuah puisi. Karena dalammenulis berita tidak perlu mengarang ataupun mereka-reka, yang ditulis hanyalahkeadaan yang terjadi sebenarnya, walaupun demikian penulisan jurnalistik harussesuai dengan kaidah penulisan jurnalistik yaitu metode penulisan yang benar danmemenuhi syarat-syarat penulisan jurnalistik.Seperti disiplin ilmu yang lain, bahwa setiap metode mempunyai rumusansendiri. Begitu juga dalam penulisan jurnalistik, dengan rumus;5 W + 1 H + SArtinya;
1.What (apa)
Apakah yang terjadi? Sebaiknya diterangkan secara singkat dan tentunyamenarik perhatian.
2.Who (siapa)
Suatu kejadian, pasti ada yang terlibat didalamnya ataupun pelakunya dan halyang pasti lebih ingin diketahui oleh pembaca.
3.Where (dimana)
Diterangkan dengan jelas dimana peristiwa tersebut terjadi. Biasanya jikatempat tersebut kurang dikenal maka dihubungkan dengan tempat lain yangumumnya sudah dikenal, misal; Pondok Modern itu terletak di kabupatenPonorogo sekitar + 85 Km kearah selatan kota Surabaya.
4.Why (mengapa)
Tentu para pembaca berita belum merasa puas apabila berita tersebut hanyamenerangkan kejadian pokoknya saja, kalau belum ditulis penyebab darikejadian tersebut, karena setiap peristiwa itu mempunyai penyebab.
5.When (kapan)
9

Lampiran
Waktu merupakan nilai tersendiri bagi sebuah berita. Maka perlu diterangkantanggal berapa, hari apa, bulan dan tahun berapa, dan kalau perlu jam berapa,karena jika sebuah berita ditulis tanpa waktu yang jelas seperti kata
“baru-baru saja”
berita tersebut akan dianggap berita basi.
+ 1 How (bagaimana)
Bagaimana hasil atau kesudahan kejadian itu, maksudnya bagaimanakesimpulan akhir dan apa tindak lanjutnya.
+ Security (keamanan)
Pada akhirnya semua bentuk tulisan yang disiarkan, perlu mempertimbangkan banyak hal yang menyangkut pada keamanan. Dengan pengertian yang berkaitan dengan masalah;a.
Intern
; kelangsungan hidup suatu surat kabar berhubungan dengan:-Aparat dalam penerbitan-Relasi b.
Ekstern
; hubungan suatu surat kabar dengan pihak luar yangmemungkinkan kelangsunag hidupnya berhubungan dengan:-Negara-Pemerintah-MasyarakatPerlu diketahui sebenarnya kebebasan pers itu tidak ada, karena kebebasan itusebenarnya ketidakbebasan itu sendiri.Rumus diatas sebenarnya hanyalah merupakan sederetan pertanyaan,maksudnya setiap berita yang ditulis sudahkah menjawab pertanyan tersebut.
Penutup
Jurnalistik diartikan sebagai salah satu bentuk komunikasi yangmenyiarkan berita atau ulasan berita tentang berita tentang peristiwa-peristiwasehari-hari yang umum dan aktual dengan secepat-cepatnya. Dan pers adalah isidari pada jurnalistik.Berita dapat diartikan sebagai suatu kejadian yang keluar dari adatkebiasaan, misalnya; manusia menggigit anjing. Itu adalah berita karena keluar 10

Lampiran
dari kebiasaan, yang biasanya manusia yang digigit anjing. Dan setiap berita itu paling tidak mengandung rumus 5 W + 1 H + S, yaitu; What (apa), Who (siapa),Where (di mana), Why (kenapa), When (kapan) + How (bagaimana) + Security(keamanan).
Referensi:
1.Muh. Ngafuan, Memburu Uang dengan Jurnalistik (Petunjuk PraktisMenjadi Wartawan Top) C.V. Aneka, Solo. 1995.2.Yurnaldi, Kiat Praktis Jurnalistik. Penerbit Angkasa Raya, Padang, 1992.3.Ahmad DS, Jurnalistik dan Konteknya. PT Pabelan, Jakarta, 1996.4.Darussalam Pos, Wawasan Pers dan Jurnalistik, Darussalam Press, Gontor.1997

Sabtu, 30 April 2011

Minggu, 18 April 2010

CITA CITA JADI TERORIS(revisi)

Karya Burhanuddin



Satu hari lagi aku akan bertemu dengan sahabat lamaku yaitu kang Mamat. Sudah 10 tahun kami tidak bertemu semenjak ia bekerja di Korea.

Aku ingat sewaktu masa kecil dulu. Saat kami kelas 3 SD aku dan kang Mamat pergi ke rumah pamanku. Dia tinggal di Desa Parikan.

Dari Desa Pantunan kami berangkat pukul 07.00 pagi. Jarak desa kami dengan desa pamanku cukup jauh sekitar 10 km.Karena jaraknya yang jauh,kami ke sana naik sepeda ontaku.

Saat di tengah jalan tiba-tiba sepeda kami terasa tidak nyaman, tidak seperti biasanya. Kami berdua turun untuk memeriksa keadaan sepeda.

“Ada apa, Dik? Kok berhenti,” tanya kang Mamat
“Kelihatannya bannya bocor, Kang,” jelasku pada anak yang bertubuh besar itu. Aku turun untuk memeriksa keadaan.
“Benar Kang,bannya bocor.”
“Bannya bocor?Terus gimana nih,malah di daerah sepi nih,” ocehnya sambil memukulkan kayu ke tanah yang dibawanya dari rumah.

Karena ban sepeda bocor, terpaksa kami harus mendorong sepeda sampai ke rumah Paman. Lama mendorong sepeda tubuh kami terasa lelah. Ditambah dengan panasnya terik mentari yang menyengat kulit kami.

“Dik, gimana kalau sepedanya kita tinggal di sini.”
‘Tapi kalau hilang nanti gimana? Aku bisa di marahin sama bapak.”
“Nggak,nggak. Kita taruh di tempat yang aman. Ha… dis ana!”
“Tapi aku takut. Gimana kalau sepedanya benar-benar hilang.”
“Jangan khawatir,sepedanya nggak akan hilang, kok. Lagian siapa yang mau ngambil sepeda zaman prasejarah,paling-paling orang waras.”

Setelah mendengar perkataan kang Mamat yang meyakinkan itu,aku putuskan untuk menaruh sepeda di semak-semak. Kami melanjutkan perjalanan ke rumah pamanku.

Selang beberapa waktu,kami pun sampai di depan rumah yang agak sempit tapi bersih.
Tubuh kami sangat kelelahan. Wajah kami terlihat merah terbakar.

“Assalamualaikum?”
“Waalaikumsalam,” jawab suara perempuan yang mempunyai rambut panjang dan wajah selalu ceria itu.
“Dik Sofi,Paman ada di rumah, nggak?” tanyaku pada anak perempuan yang lebih dewasa 5 tahun dari kami.
“Ada. Sedang membuat mainan di belakang.”
“Membuat mainan apa?” tanya kang Mamat.
“Lihat aja sendiri.”
“Ada siapa Fi?” tanya bi Retno dari dalam rumah.
“Nih, mas Mamat dan mas Puji.”
“Ayo lewat sana,kalau mau ketemu ayah.”

Kami pergi ke belakang lewat samping rumah. Dengan Dik Sofi kami diantar bertemu Paman Seno.

“Apa kabar Paman?” sapaku dan kang Mamat serta bersalaman pada paman Seno.
“Kabar baik. Lama tak jumpa. Bagaimana keadaan keluarga? Baik-baik kan?”
“Alhamdulillah baik-baik. Oh ya Paman, kata Dik Sofi paman sedang membuat mainan, mainan apa?” tanyaku penasaran.
Dengan mengotak-atik kayu yang sudah terpotong itu paman menjawab.
”Oh ini ya, paman sedang membuat angklung.”
”Membuat Angklung. Kami boleh bantu nggak, Paman?” tanyaku pada Paman Seno.
“Boleh,” jawab Paman Seno.

Kami berdua ikut membantu membuat Angklung. Tidak ingin kalah dengan kami,Dik Sofi pun ikut berpartisipasi dalam membuat Angklung.

“Kalian mau dengar cerita Paman nggak?”
“Cerita apa Paman?”
“Dulu, sewaktu masih kecil,paman bercita-cita ingin jadi teroris.”
“Apa Pak? Kenapa Bapak nggak pernah cerita sama Sofi?”
“Kemarin-kemarin Bapak nggak ingat. Begini. Dulu waktu zaman penjajah Belanda menguasai daerah kita Paman lari ke Gunung Kidul bersama penduduk desa. Para penjajah Belanda menguasai dan membunuh penduduk yang mereka jumpai.”
”Bagaiman ceritanya Paman Seno bisa bercita-cita jadi teroris?” serobot kang Mamat penasaran.
”Baiklah, kita merujuk pada titik poinnya saja.”

Kami bertiga penasaran dengan paman seno. Wajah ingin tahu terlihat di muka kami bertiga. Hati kami makin penasaran dengan cerita paman Seno.

“Saat di Gunung Kidul Paman Seno pernah dinasihati Ayah paman.
Begini katanya,”Seno, kamu harus menyelamatkan penduduk desa kita ini. Jadilah teroris bagi penjajah.”
”Jadi teroris, Ayah?” jawabku begitu.
Saat paman penasaran dengan nasihat Ayah paman,tiba-tiba sebuah tembakan mengarah ke tubuh ayah paman.”
“Terus gimana Ayah paman?” tanya Kang Mamat.
“Ayah paman tergeletak. Ia menyuruh paman lari sejauh mungkin,agar tidak dikejar tentara Belanda. Paman menangis sambil berlari. Dengan perasaan yang kurang begitu menentu, campur marah dan rasa takut paman berteriak Sekeras-kerasnya.”
“Setelah itu paman?” tanyaku.
“Setelah itu, aku pergi ke tempat yang aman bersama penduduk yang masih hidup. Kami masuk di sebuah goa yang namanya Goa Mereng. Di sana Paman beserta penduduk desa berlatih pencak silat. Dengan kayu pring dan beberapa kayu mahoni, kami membuat senjata. Tongkat dan panah serta jebakan lainnya kami buat untuk melawan penjajah.”
“Terus-terus Paman.”
“Setelah beberapa hari kami mempersiapkan diri dan senjatai, kami diam-diam pulang ke desa untuk memantau keadaan. Dan ternyata, di desa ada sekitar tiga puluh pasukan Belanda yang sedang istirahat. Dengan penuh kecerdikan, kami akhirnya menyerbu pasukan tersebut.”
“Akhirnya paman menang?” tanya kang Mamat.
“Selang beberapa menit, akhirnya mereka terkalahkan. Kami mengambil senjata dan mengusir tentara Belanda dari desa kami. Paman merasa mungkin inilah yang dimaksud cita-cita jadi teroris oleh ayah paman.”


Mendengar cerita paman,aku merasa tersentuh. Hatiku ikut larut dalam ceritanya. Karena sudah siang kami segera pulang. Kami berjalan dari rumah Paman menuju tempat kami menaruh sepeda.

“Hai Kang,sepedanya di mana?” tanyaku pada kang Mamat saat sampai di semak-semak tempat menaruh sepeda.
“Iya, ya, tadi di sini kan?”
“Iya. Aduh gimana, nih?”

Aku dan Kang Mamat mencari sepeda onta tua yang kami taruh di semak-semak. Sudah satu jam kami mencarinya,tapi tidak ada hasil. Aku merasa takut. Ayahku pernah bilang, kalau aku harus menggunakan sepeda dengan hati-hati. Aku tidak berani pulang ke rumah. Sampai sore aku masih di daerah itu.


“Dik Puj,ayo kita pulang. Biar nanti aku yang ngomong sama ayahmu!”
“Tapi aku takut.”
“Jangan takut. Semarah-marah Ayahmu masak tega memukul anaknya.”

Dengan perasaan takut aku putuskan untuk pulang ke rumah. Dari pada membuat khawatir ibuku,lebih baik aku pulang meskipun harus dimarahi ayah. Saat tiba di rumahku kami berdua kaget. Tak kami kira ternyata sepedaku sudah ada di rumah.

“Assalamualaikum?”
“Waalaikumsalam. Baru pulang nak?”
“Ya, Bu.”
”Sepedanya kok bisa di sini Bu?”
“Tadi dibawa sama pak Somat.”

Hatiku lega setelah mendengar omongan ibu. Kukira sepedanya hilang, ternyata sudah dibawa pulang pak Somaf, tetanggaku.

* * *
Sampai dewasa ini aku tetap mengingat saat itu. Sebelum aku bertemu Kang Mamat,semalam ia menghubungiku lewat chatting. Mungkin ia juga masih ingat tentang cerita paman Seno dulu.

Pagi harinya aku bertemu dengan kang Mamat. Sekarang ia sudah jadi orang sukses.

Rabu, 07 April 2010

CITA CITA JADI TERORIS (siklus 3)

karya: Burhanuddin


Satu hari lagi aku akan bertemu dengan sahabat lamaku yaitu kang Mamat. Sudah 10 tahun kami tidak bertemu semenjak ia bekerja di Korea.

Aku ingat sewaktu masa kecil dulu. Saat kami kelas 3 SD aku dan kang Mamat pergi ke rumah pamanku. Dia tinggal di Desa Parikan.

Dari Desa Pantunan kami berangkat pukul 07.00 pagi. Jarak desa kami dengan desa pamanku cukup jauh sekitar 10 km.Karena jaraknya yang jauh,kami kesana naik sepeda ontaku.

“Ada apa dik? Kok berhenti di tengah jalan.’ Tanya kang Mamat
“Kelihatannya bannya bocor Kang.” Jelasku pada anak yang bertubuh besar itu”. Aku turun untuk memeriksa keadaan.
“Benar Kang,bannya bocor.”
“Bannya bocor?Terus gimana nih,malah di daerah sepi nih.” Ocehnya sambil memukulkan kayu ke tanah yang dibawanya dari rumah.

Karena ban sepeda kami bocor terpaksa kami harus mendorong sepeda sampai ke rumah Paman. Lama mendorong sepeda tubuh kami terasa lelah. Di tambah dengan panasnya terik mentari yang menyengat kulit kami.

“Dik, gimana kalau sepedanya kita tinggal di sini.”
‘tapi kalau hilang nanti gimana? Aku bisa di marahin sasma bapak.”
“Nggak,nggak. Kita taruh di tempat yang aman. Ha… disana.’
“Tapi aku takut. Gimana kalau sepedanya benar-benar hilang.”
“Jangan khawatir,sepedanya nggak akan hilang kok. Lagian siapa yang mau ngambil sepeda jaman pra sejarah,paling-paling orang waras.”

Setelah mendengar perkataan kang Mamat yang meyakinkan itu,aku putuskan untuk menaruh sepeda di semak-semak. Kami melanjyutkan perjalanan ke rumah Pamanku.

Selang beberapa waktu,kamipun sampai di depan rumah yang agak sempit tapi bersih.
Tubuh kami sangat kelelahan. Wajah kami terlihat merah terbakar.

“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum sal;am.” Jawab suara perempuan yang mempunyai rambut panjang dan wajah selalu ceria itu.”
“dik sofi,Paman ada di rumah nggak?” tanyaku pada anak perempuan yang lebih dewasa 5 tahun dari kami.
“Ada. Sedang membuat mainan di belakang.”
“Membuat mainan apa?” tanya kang Mamat.
“Lihat aja sendiri.”
“Ada siapa Fi?” tanya bi Retno dari dalam rumah.
“Nih, mas Mamat dan mas Puji.”
“Ayo lewat sana,kalau8 mau ketemu paman.”

Kami pergi ke belakang lewat samping rumah. Dengan dik Sofi kami diantar bertemu Paman Seno.

“Apa kabar Paman?” sapaku dan kang Mamat serta bersalaman pada paman Seno.
“Kabar baik. Lama tak jumpa. Bagaimana keadaan keluarg? Baik-baikkan.’
“Alhamdulillah baik-baik. Oh ya Paman, kata dik Sofi paman sedang membuat mainan, mainan apa?” tanyaku penasaran.
Dengan mengotak-atik kayu yang sudah terpotong itu paman menjawab.”’Oh ini ya, paman sedang membuat Angklung.”Membuat Angklung. Kami boleh bantu nggak paman?” tanyaku pada Paman Seno.
“Boleh” jawab Paman Seno.

Kami berdua ikut membantu membuat Angklung. Tidak ingin kalah dengan kami,dik Sofipun ikut berpartisipasi dalam membuat Angklung.

“Kalian mau dengar cerita paman nggak?”
“Cerita apa Paman?”
“Dulu,Paman bercita-cita ingin jadi teroris.”
“Apa Pak? Kenapa Bapak nggak pernah cerita sama Sofi?”
“Kemarin-kemarin Bapak nggak ingat. Begini. Dulu waktu jaman penjajah Belanda menguasai daerah kita Paman lari ke Gunung Kidul bersama penduduk desa. Para penjajah Belanda menguasai dan membunuh penduduk yang mereka jumpai.”
Bagaiman ceritanya paman Seno bisa bercita-cita jadi teroris?” serobot kang Mamat penasaran.
‘Baiklah, kita merujuk pada titik poinnya saja.”

Kami bertiga penasaran dengan paman seno. Wajah ingin tahu terlihat di muka kami bertiga. Hati kami semakin penasaran dengan cerita paman Seno.

“Saat di Gunung Kidul Paman Seno pernah dinasehati Ayah paman.Begini katanya.”Seno, kamu harus menyelamatkan penduduk desa kita ini. Jadilah teroris bagi penjajah.””Jadi teroris Ayah.” Jawabku Begitu. Saat paman penasaran dengan nasehat Ayah paman,tiba-tiba sebuah tembakan mengarah ke tubuh ayah paman.”
“Terus gimana Ayah paman?’ tanya Kang Mamat.
“Ayah paman tergeletak. Ia menyuruh paman lari sejauh mungkin,agar tidak dikejar tentara belanda. Paman menangis sambil berlari. Dengan perasaan yang kurang begitu menentu, campur marah dan rasa takut paman berteriak Sekeras-kerasnya.”
“Setelah itu paman.”
“Paman melaksanakan nasehat ayah paman, yaitu jadi teroris. Tapi cita-cita paman itu tidak lama hilang. Karena sewaktu paman besar penjajah Belanda sudah diusir oleh para pejuang kita. Sudah itu saja ceritanya.”

Mendengar cerita paman,aku merasa tersentuh. Hatiku ikut larut dalam ceritanya. Karena sudah siang kami segera pulang. Kami berjalan dari rumah Paman menuju tempat kami menaruh sepeda.

“Hai Kang,sepedanya dimana?” tanyaku pada kang Mamat saat sampai di tempat menaruh sepeda.
“Iya ya, tadi disinikan?”
“Iya. Aduh gimana nih?”

Aku dan Kang Mamat mencari sepeda onta tua yang kami taruh di semak-semak. Sudah satu jam kami mencarinya,tapi tidak ada hasil. Aku merasa takut. Ayahku pernah bilang, kalau aku harus menggunakan sepeda dengan hati-hati. Aku tidak berani pulang ke rumah. Sampai sore aku masih di daerah itu.

“Dik Puj,ayo kita pulang. Biar nanti aku yang ngomong sama ayahmu.’
“Tapi aku takut.”
“Jangan takut. Semarah-marah Ayahmu masak tega memukul anaknya.”

Dengan perasaan takut aku putuskan untuk pulang ke rumah. Dari pada membuat khawatir ibuku,lebih baik aku pulang meskipun harus dimarahin ayah. Saat tiba di rumahku kami berdua kaget. Tak kami kira ternyata sepedaku sudah ada di rumah.

“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam. Baru pulang nak?”
“Ya bu.”

Hatiku cukup lega. Perasaanku tenang. Meskipun aku tidak tahu siapa yang membawa sepedaku pulang ke rumah.

Sampai dewasa ini aku tetap mengingat saat itu. Sebelum aku bertemu Kang Mamat,semalam ia menghubungiku lewat catting. Mungkin ia juga masih ingat tentang cerita paman Seno dulu.

Pagi harinya aku bertemu dengan kang Mamat. Sekarang ia sudah jadi orang sukses. Mungkin giliran berikutnya aku yang akan menceritakan cerita paman dulu kepada anak dan keponakanku.